Tuesday, December 11, 2018

PENGEMBANGAN, KONSERVASI DAN PERUBAHAN IKLIM LAHAN GAMBUT

LAHANGAMBUT KALIMANTAN SELATAN
PENGEMBANGAN, KONSERVASI DAN PERUBAHAN IKLIM
12 Desember 2018
Riam Faradigma
NalarAsa

LAHAN gambut di Indonesia dikenal sangat unik dan multi fungsi yang ditunjukan oleh kekhasannya dalam (1) Proses pembentukannya, (2) Keragaman bahan penyusun dan diakumulasikan, (3) Keanekaragaman vegetasi (flora/fauna) hutannya saat ini, (4) Fungsinya sebagai wadah produksi (kayu, tanaman, ikan, burung dsb.), (5) Fungsi hidrologinya dan bentang lahan alami, dan (6) Fungsinya sebagai pengendali iklim global. Fungsi gambut yang terakhir yang merupakan isu penting dalam pembukaan dan pengembangan lahan gambut sekarang. Dewasa ini cukup besar pemanfaatan lahan gambut yang diikuti dengan program pemerintah dalam merevitalisasi perkebunan, yang dicemaskan akan berpotensi meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK).

Adapun dampak dari meningkatnya GRK adalah perubahan iklim global yang semakin dirasakan, yaitu: (1) Musim hujan yang semakin panjang dan intensitas yanng tinggi menjadikan banjir di berbagai tempat, (2) Musim kemarau yang ppendek dengan tingkat kekeringn yang lebih kuat, (3) Suhu udara yang semakin panas, (4) Munculnya hama dan penyakit yang meningkat sehingga kerusakan hasil pertanian semakin besar, dan (5) Penurunan jumlah pasokan air bersih. Dalam konteks gambut tropika dunia yang luasnya mencapai 50% berada di Indonesia, sebagai negara yang mempunyai luas lahan gambut terbesar keempat di dunia, dipandang penting memperhatikan rosot (sink) karbon yang ada di lahan gambutnya yang mencapai 40-45 juta ton karbon. Setiap satu juta hektar lahan gambut diperkirakan mempunyai potensi emisi GRK yang akan lepas ke atmosfer setara dengan 2,2-3,7 juta ton C per tahun. 

Kalimantan Selatan merupakan salah satu wilayah yang memiliki lahan gambut dan lahan bergambut yang cukup luas di Indonesia dengan luas 254,950 ha (data tahun 2005). Lahan gambut di Kalimantan Selatan murni tersusun dari unsur karbon (C) sama dengan batu bara. Hanya saja jumlah kalori dari bahan gambut relatif lebih rendah antar 11-18 MJ/kg di banding dengan batu bara yang mencapai antara 23-28 MJ/kg. Namun demikian, gambut merupakan bahan yang mudah terbakar sehingga menjadi sasaran empuk bagi api, tidak jarang hingga setiap tahun Kalimantan tidak pernah alpa dari masalah kebakaran lahan gambut. Gambut yang terbakar melepaskan emisi karbon (GRK) yang cukup besar sehingga dikhawatirkan memicu terjadinya perubahan iklim. Di Kalimantan Selatan, lahan gambut dikembangkan untuk berbagai jenis komuditi pertanian dan kelapa sawit serta pengembangan perikanan seperti kolam atau tambak. Tidak sedikit lahan gambut di Kalimantan Selatan kembangkan menjadi perkebunan kelapa sawit selain itu ada perubahan fungsi lahan lahan gambut menjadi pemukiman, gedung dan pabrik-pabrik akibat tuntutan perluasan dan pengembangan wilayah.  

Ekosistem gambut bersifat rapuh artinya apabila perlakuan berlebihan tanpa memperdulikan kaidah-kaidah konservasi dan reservasi maka sifat biokimia dan watak bawaan lahan gambut akan berubah dan rusak. Pembukaan dan pemanfaatan gambut untuk pemanfaatan pertanian dan perkebunan serta dibangun di Kalimantan Selatan memberikan dampak ekologis yang semakin dirasakan dengan semakin banyak dan meluasnya kawasan banjir pada musim hukan dan kekeringan pada musim kemarau. Ancaman kebakaran hutan di Kalimantan Selatan pada lahan gambut terbuka lebih tinggi dan mudah meluas apabila tanpa diikuti dengan pengelolaan yang baik. Lahan gambut yang terbakar tidak saja mengalami kerusakan secara fisik, kimia dan biologi, tetapi juga menghilangkan fungsi gambut sebagai penyangga lingkungan antara lain berkenaan dengan fungsi hidrologis, biogeokimia dan biologis dari gambut, termasuk keanekaragaman hayati, perubahan iklim dan pemanasan global. 

Desakan pemanfaatan lahan gambut di Kalimantan Selatan guna mendukung pengembangan wilayah dan pertumbuhan ekonomi daerah, dipastikan eksploitasi terhadap sumberdaya lahan gambut semakin meluas dan intensif. Seperti sifat lahan gambut pada umumnya, lahan gambut di Kalimantan Selatan bersifat labil, dengan seiring waktu dapat berubah dikarenakan perubahan hidrologi, biogeokimia atau ekologi. Pemanfaatan lahan gambut di Kalimantan Selatan termasuk dalam konteks pengembangan baik sebagai kawasan budidaya maupun kawasan lindung atau restorasi dihadapkan pada berbagai masalah yang menjadi isu utama, yaitu tentang: (1) Reklamasi dan pengelolaan air, (2) Kebakaran dan degradasi lahan, (3) Perubahan iklim dan pemanasan global, (4) Kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat, (5) Pembalakan liar, dan (6) perdagangan karbon. 

Sejumlah daerah di Kalimantan Selatan yang meiliki lahan gambut tidak luput dari kerusakan, laju kerusakan lahan gambut di Kalimantan Selatan menjadikan lahan gambut menipis antara 0,5-1,5 meter dalam kurun waktu 20 tahun. Berdasarkan penyebab dan kondisi yang tersisa, kerusakan lahan gambut dapat dipilah dalam empat kategori, yaitu (1) Kerusakan ringan, (2) Kerusakan Sedang, (3) Kerusakan Berat, dan (4) Kerusakan Sangat Berat. Kerusakan lahan gambut di Kalimantan Selatan. Kerusakan lahan gambut di Kalimantan Selatan meliputi kerusakan fungsi lingkungan dan Kerusakan fungsi produksi serta kerugian secara ekonomi. 

Potensi luas dan rosot karbon lahan gambut serta pemanfaatannya bagi pengembangan wilayah umumnya dan masayarakat khususnya di Kalimantan Selatan antara lain untuk pertanian, perkebunan, perikanan, perternakan/ pengembalaan dan perhutanan-tani. dari data Wetlands Internasional (2005;2006) Luas lahan gambut di Kalimantan Selatan dibagi menjadi:
  1. Bergambut <50                   76,780 ha
  2. Gambut Dangkal                 79,470 ha
  3. Gambut Sedang                 78,770 ha
  4. Gambut Dalam                   76,710 ha
  5. Gambut Sangat Dalam       0
         Total Luas                           254,950ha
Dengan Cadangan karbon sebesar 85,04 juta t C. 
Lahan bergambut (tebal < 50 cm) dan kabut dangkal (tebal 50-100 cm) cocok untuk budidaya tanaman pangan (padi dan palawija), Gambut sedang (tebal 1-2 m) cocok untuk sayuran dan holtikultura, gambut dalam (tebal <4 m) dapat untuk perkebunan dengan budidaya terbatas, selebihnya berupa gambut sangat dalam (tebal >4 m) diarahkan untuk dijadikan kawasan konservasi dan restorasi atau kawasan lindung. Kondisi lahan gambut di Kalimantan Selatan sebagian masih berupa hutan alami, terutama tergolong gambut dalam, sehingga besar menjadi hutan sekunder, dan sisanya hutan gambut terdegradasi akibat pembalakan dan kebakaran. 

Pemanfaatan lahan gambut di Kalimantan Selatan untuk pertanian dan perkebunan juga sering menimbulkan permasalahan terkait dengan tingkat kesuburannya yang rendah dan biofisik lahan yang rapuh. Namun apabila dikelola dan dibudidayakan dengan baik dan bijak, lahan gambut dapat memberikan hasil tanaman yang baik bahkan dapat mencapai produktivitas yang tidak kalah dengan tanah mineral (Noor,2001, Najiyati et al.,2005). Tingkat pemahaman terhadap sifat, watak dan ekologi lahan gambut dirasakan masih terbatas baik ditingkat masyarakat petani maupun di tingkat pelaksana teknis pada lembaga atau institusi pemerintah sehingga pemanfaatan dan pengolahan lahan gambut untuk pengembangan pertanian/ perkebunan kurang memperhatikan hakekat gambut sebagai sumber daya lahan yang rapuh dan mudah berubah.

Potensi Pemanfaatan Lahan Gambut di Kalimantan Selatan dapat dilakukan dengan terstruktur, meliputi:
  1. Pertanian di Lahan Gambut. Yang perlu diperhatikan adalah Pengelolaan air, hara serta pupuk, penyiapan lahan, pengendalian hama dan penyakit danAnlisis hasil usaha tani lahan gambut.
  2. Perkebunan di Lahan Gambut. Yang perlu diperhatikan adalah Penyiapan Lahan, Pengelolaan Air dan Tabat, Pemupukan dan Ameliorasi, Pengendalian hama dan penyakit dan analisi Hasil Usaha Perkebunan di Lahan gambut.
  3. Perternakan di Lahan gambut. jenis hewan ternak adalah Itik alabio, Kerbau rawa dan Analisis hasil ternak.
  4. Perikanan Rawa, macam sistem perikanan adalah sistem Beje, Sistem Keramba dan analisis hasil perikanan.
  5. Perhutanan-Tani. Yang perlu diperhatikan adalah Penyiapan lahan, Pembibitan, Penanaman dan pemeliharaan.
Lahan Gambut merupakan rosot karbon, tetapi juga sekaligus dapat menjadi sumber atau emitor gas rumah kaca (CO2, CH4 dan N2O) karena tersusun dari jaringan tanaman yang merupakan senyawa karbon. Perubahan iklim merupakan salah satu isu utama dalam pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan. Pemerintah Kalimantan Selatan khususnya harus berkomitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca yang diakibatkan karena kerusakan lahan gambut. Walaupun akitab dari kerusakan lingkungan dengan miningkatnya GRK baru dirasakan sekitar 50-100 tahun kemudian, tetapi hal ini dapat semakin cepat terjadi apabila penggunaan bahan bakar minyak bumi, batu bara, gas alam, termasuk pemanfaatan lahan gambut tanpa mengindahkan mitigasi perubahan iklim. Gejala dampak perubahan iklim semakin dirasakan seperti munculnya iklim yang tak menetu, banjir yang semakin sering dengan wilayah yang semakin luas, kekeringan semakin sering dengan suhu yang lebih tinggi, badai tsunami dan topan yang muncul tiba-tiba.

Oleh karena itu, mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim diperlukan mutlak mengingat kemampuan hutan dalam penyerapan CO2 sekarang sangat kecil dan semakin tahun terus menurun. Kelebihan emisi CO2 di muka bumi yang sekarang tidak memungkinkan apabila penyerapannya hanya mengandalkan hutan saja, karena diperlukan hutan seluas lima kali luas bumi untuk menyerap emisi karbon yang ada (Mudiyarso, 3002).

Besarnya potensi karbon dari lahan gambut apabila menjadi sumber karbon dikhawatirkan memacu terjadinya perubahan iklim yang besar. oleh karena itu, maka upaya-upaya dini untuk pencegahan terhadap percepatan perubahan iklim yang antara lain dengan mitigasi diperlukan- disamping antisipasi dalam bentuk adaptasi yaitu menciptakan teknologi-teknologi alternatif yang hemat energi dan efesien sangat diperlukan.

Pemanfaatan lahan gambut di Kalimantan Selatan sering dikaitkan dengan emisi GRK, khususnya berkenaan dengan pengembanngan perkebunan kelapa sawit yang semakin pesat. Pengembangan kelapa sawit di lahan gambut, khususnya gambut dalam (tebal >3 m) mendapat banyak sorotan karena disinyalir dapat menyebabkan peningkatan emisi GRK yang mengakibatkan pemanasan baik diwilayah Kalsel, nasional hingga global. Besarnya emisi CO2 dari lahan gambut yang dimanfaatkan untuk budidaya pertanian dan perkebunan sangat dipengaruhi oleh sitem pengelolaannya. Dari hasil beberapa penilitian para ahli menunjukan bahwa tingkat emisi karbon dari masing-masing ekosistem (hutan, sagu, kelapa sawit) dipengaruhi antara lain oleh kelembaban, suhu dan muka air tanah. Idealnya dalm pemanfaatan lahan gambut perlu adanya pilihan-pilihan baik jenis komoditas maupun cara pemanfaatan dan pengelolaan yang menghasilkan GRK rendah. 

Lahan gambut di Kalimantan Selatan memiliki keragaman yang merupakan salah satu keunikan dari ekosistem rawa. Keberhasilan usaha pertanian dan perkebunan pada lahan gambut, termasuk emisi GRK yang dihasilkan dari lahan gambut sangat dipengaruhi oleh berbagai sifat tanah gambut dan cara pengelolaan tanah dan air serta lingkungan. Besar emisi karbon yang dihasilkan lahan gambut juga dipengaruhi oleh jeluk muka air tanah. Semakin dalam air tanah (dari 30 cm sampai 90 cm) maka besar emisi CO2 semakin tinggi, tergantunng pada jenis dan lingkungan gambut.

Upaya mitigasi dan adaptasi ini sangat berkaitan dengan pembangunan bidang kehutanan dan pertanian dalam arti luas yang memanfaatkan lahan gambut. Sama halnya pada rehabilitas lahan gambut yang rusak di Kalimantan Selatan, penanaman kembali pada hutan-hutan gambut yang sudah gundul merupakan cara untuk memitigasi. konservasi hutang di Kalimantan selatan juga harus dilakukan yang tujuannya untuk meningkatkan penyerapan CO2 dari atmosfer termasuk juga dalam cara memitigasi. Konservasi hutan gambut tebal yang mengandung rosot karbon tinggi merupakan tindakan adaptasi. Pengembangan pertanian dan perkebunan di lahan gambut bersifat konservasi, artinya dapat menigkatkan emisi karbon karena memacu terjadinya pembongkaran gambut, tetapi sebaliknya kehadiran tanaman yang menutupi lahan gambut menjadi penambat karbon sehingga perlu kehati-hatian, misalnya dengan mengatur muka air permukaan dan air tanah tidak lebih dalam sehingga mencegah perombakan dan emisi karbon secara berlebihan. Perusahaan pertanian dan perkebunan di Kalsel  yang mengelola lahan gambut peru melakukan adaptasi untuk menjaga agar gambut di Kalsel tetap lestari dan mencegah terjadinya pelepasan karbon secara drastis.

Batasan-batasan dalam pengelolaan lahan gambut untuk kepentingan pembangunan perlu mendapatkan perhatian secara sungguh-sungguh. Namun batasan-batasan tersebut tidak diartikan sebagai penyempitan terhadap kesempatan dan peluang bagi masyarakat setempat dalam pemanfaatan lahan gambut secara baik dan berkelanjutan. Mengingat potensi gambut yang cukup baik bagi pertanian, perikanan, peternakan dan perkebunan. terlebih lagi, sebagian besar penduduk yang tinggal dan menggantungkan hidupnya di lahan gambut  masih miskin. 

Berdasarkan dinamika dan perubahan yang dapat terjadi pada lahan gambut dan lebih jauh untuk menghindari terjadinya penurunan terhadap sifat dan nilai produktivitas lahan gambut di Kalsel maka pengelolaan lahan gambut perlu mengikuti ketentuan-ketentuan normatif agar terhindar dari kerusakan atau ketidakberkanjutan dalam pemanfaatan. Ketentuan-ketentuan normatif tersebut antara lain:
  1. mencegah terjadinya percepatan amblas
  2. mencegah terjadinya pengatusan berlebihan
  3. mencegah pengelantangan atau tersingkapnya lapisan pitir
  4. menjegah terjadinya kering tak balik sehingga gambut menjadi rusak dan mati
  5. mempertahankan muka ir tanah dan aras sesuai dengan kebutuhan tanaman
  6. mempertahankan atau meng-konservasi air sehingga dapat mencegah terjadinya kebakaran
  7. mempertahankan kedar lengas tanah sesuai kebutuhan tanaman dan konservasi lahan gambut
  8. mencegah pembukaan dan penyiapan lahan dengan sistem bakar
  9. mencegah pembuatan saluran terlalu dalam
  10. menyediakan sepertiga areal pengembangan untuk dijadikan kawasan hijau atau konservasi air
  11. mencegah atau menghasilkan emisi gas rumah kaca yang rendah


PESAN PENTING DARI BUKU SEBUAH SENI UNTUK BERSIKAP BODO AMAT

PENDEKATAN YANG WARAS DEMI MENJALANI HIDUP YANG LEBIH BAIK 10 AGUSTUS 2019 R. FARADIGMA NalarAsa Buku ini dapat membantu kita untuk ...